
Categories
About MeTotal PageviewsBlog ArchiveSearch This Blog |
|

| NERACA KASIH SAYANG | 21:06 |
|
Filed under:
Cerpen
|
|
“Apapun
yang terjadi, aku tetap memilih orang tuaku”.
“Kukuuurruyuuuuuuuuukkkkk!!!......”,
ayam jago milik Bapa mulai berkokok,
menandakan sang surya sudah kembali bersiap menerangi jagat raya, berharap hari
ini segala yang ada di sana bersuka cita menyambut datangnya pagi. Aku yang sudah
membuka mata sejak pukul empat tadi, kini hampir selesai melakukan rutinitas
pagi sebagai seorang perempuan yang suatu saat nanti akan jadi seorang ibu
seperti Meme.
Nasi dan lauk sudah
terhidang di meja, natah sudah
kusapu, dan bale juga sudah
kubersihkan, kini saaatnya melakukan rutinitas yang lain. Ya, menenun kain Gringsing.
Merupakan suatu kewajiban bagi perempuan yang ada di Tenganan Pegringsingan
untuk bisa menenun kain Gringsing. Menurut adat desa, kami sebagai perempuan
harus dapat membuat sebuah kain yang nantinya akan kami kenakan saat kami
menikah, bila tidak, kami belum dapat ijin untuk menikah.
Membuat sebuah kain
menurutku bukanlah hal mudah, selain prosesnya yang lama, cara menenunnya pun
tak boleh sembarangan. Sebenarnya ini pekerjaan yang membosankan, tapi apa
boleh buat, karena aku dilahirkan di desa ini, aku harus tunduk pada adat
istiadat di sini. “Yah, dijalani saja lah”, batinku sambil mulai menenun.
Sambil menenun,
pikiranku melayang, mengkhayal, membayangkan suatu saat akan ada seorang pemuda
tampan yang menyukaiku, lalu ia akan mengajakku pergi ke kota, melihat-lihat
sesuatu yang belum pernah kulihat selama dua puluh empat tahun lamanya, dan ia
juga akan….. “Geeeeekkkk!”, suara ibuku yang baru pulang dari pasar
mengagetkanku, membuyarkan lamunan indahku. “Nggih Me”, jawabku seraya
mendekati ibuku yang terlihat kewalahan membawa barang-barang belanjaan. Hari
itu kulihat ibu berbelanja banyak sekali, ada daging ayam, base megenep, gedebong
pisang, kelapa santan, gula merah, daun daluman,
salak, jeruk, pisang, dan masih banyak lagi. “Wah sepertinya akan ada tamu yang
berkunjung kemari”, batinku dalam hati. Aku dengan sigap membantu ibu membawa barang-barang
tersebut ke dapur. “Nanti mau ada tamu, nggih?”,
tanyaku penasaran. “Bukan nanti Gek, tapi besok pagi. Bantu Meme buat betutu, ares, dan es daluman, Gek”, ibuku berpesan padaku. ”Nggih Me, jam berapa besok tamunya datang?”, tanyaku semakin penasaran.
“Jam delapan Gek, jangan terlambat bangun ya”, nasihat ibuku. “Nggih Me”, jawabku lalu meninggalkan ibuku kembali ke tempat menenun.
Sebenarnya di dalam hatiku aku penasaran siapa sebenarnya tamu yang akan datang
besok pagi. Terbersit harapan yang akan datang adalah seorang pemuda kota yang
ingin melihat-lihat keadaan desa, tapi aku tidak percaya diri dengan khayalanku
yang kiranya sangat tidak mungkin untuk menjadi kenyataan. “Fiuhh…. Yang datang
pasti penglingsir dari Desa Dauh
Tukad, paling hanya ingin mengobrol dengan Bapa”,
batinku sambil menghela napas. Aku melanjutkan kegiatan menenun kain yang ada
di pangkuanku. Dengan teliti aku memasukkan benang, membentuk corak. ”Mudah-mudahan
hasilnya seperti yang kuharapkan” , gumamku.
Malam hari di Desa
Tenganan, suasana di luar rumah sudah sangat sepi walaupun jam baru menunjukkan
pukul tujuh malam. Tidak ada seorang pun di luar rumah, sunyi, hanya bunyi
jangkrik yang semakin lama semakin keras bersahut-sahutan. Kami warga Desa Tenganan
memang selalu diminta waspada untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Salah satu caranya yaitu dengan tidak keluar rumah lewat pukul tujuh malam.
“Sudah sandikala Gek, jangan keluar,
nanti Gek diculik raksasa”, teringat aku akan nasihat Meme dulu, “Haha tidak masuk akal”, batinku sambil berlalu menuju
ke kamar.
Menurut Gede, salah
seorang saudara sepupuku yang tinggal di Kota Denpasar sana, jam tujuh malam di
Denpasar sangat berbeda jauh dengan jam tujuh malam di Desa Tenganan. “Ndak seperti di sini, Gek. Jam tujuh di
Denpasar itu ramai, banyak mobil dan motor lewat, toko juga belum tutup. Dagang
nasi sampai jam dua belas malam pun ada Gek”, tersenyum aku mengingat cerita
Gede tepat dua bulan lalu setibanya kembali ke desa. Kala itu Gede bercerita
dengan sangat bersemangat, membuatku semakin penasaran ingin berkunjung ke kota
dan bertemu dengan pemuda dari kota yang siap mengajakku berkeliling di kota
sana.
Jujur malam ini untuk pertama
kalinya aku tidak bisa tidur. Mataku lelah, tapi pikiranku terus berkelana.
Tentu saja akibat rasa penasaran terhadap tamu yang akan berkunjung besok pagi.
“Siapa ya kira-kira?”, pertanyaan itu terus muncul dalam pikiranku. Jam akhirnya
menunjukkan pukul sepuluh malam dan aku telah terlelap dalam tidurku.
Keesokan paginya tepat
pukul tiga, aku langsung bangun dari tempat tidurku, merapikannya lalu membasuh
wajahku dan menggosok gigi. Secepat kilat aku menuju dapur. Ternyata Meme sudah ada di sana dan sedang
berusaha menyalakan kompor minyak yang akan digunakan untuk memasak nasi. “Gek,
potong kecil-kecil gedebongnya, langsung
cuci dengan garam ya. Setelah itu buatkan Meme
santan, kelapanya di meja, jangan terlalu kental ya”, ibuku memberi instruksi.
“Beres Meme cantik”, jawabku sigap
sambil sedikit menggoda ibuku. Aku lalu membuat sayur ares sesuai petunjuk ibuku. Sejenak aku lupa dengan rasa
penasaranku. Setelah membuat sayur, aku membuat es daluman, mengambil sari dari daun daluman, menunggu hingga kental, mempersiapkan santan dan gula Bali
sebagai pemanis. “Wah, hari ini aku masak besar”, gumamku.
Setelah
lebih kurang tiga jam, akhirnya semua masakan selesai. Di meja dapur kini
terhidang nasi, sayur ares, ayam betutu, dan daluman. Aku menata buah-buahan yang akan disuguhkan kepada tamu, ”Es
batunya nanti saja kubeli di warung Me
Rai”, gumamku seraya meletakkan buah terakhir di atas piring. “Hmmm, rapi,
beres”, aku merasa puas dengan hasil karyaku.
Tidak
terasa waktu menunjukkan pukul enam lewat lima belas. Aku bergegas ke warung Me Rai membeli beberapa balok es. Warung
Me Rai cukup dekat dari rumahku.
Hanya tiga menit bila berjalan kaki, tapi karena jalan menuju ke sana agak
menaik, maka itu lumayan membuatku berkeringat bila berjalan di siang hari.
Syukurlah ini baru pukul enam lewat, angin dingin sepoi-sepoi di desaku tak member
kesempatan keringat keluar dari tubuhku.
“Gek,
es batunya masukkan ke termos besar ya, tutupnya isi serbet bersih supaya tidak
cepat cair”, kata ibuku setibanya aku di rumah. “Nggih, Me”, jawabku. “Gek,
langsung mandi ya, pakai kamen yang
bagus,yang rapi, yang cantik ya Gek”, kata ibuku. “Nggih Me, Gek mandi sekarang”, jawabku sambil tersenyum.
Aku
telah selesai mandi, sedikit berhias, memakai wewangian kenanga dan menggunakan
kamen yang bagus. Ya, kami perempuan
di Desa Tenganan menggunakan kamen
sehari-harinya. Entah dari mana kebiasaan tersebut bermula, yang jelas aku
mengikutinya sama seperti teman-temanku yang lain.
“Sampun
Me”, aku menghampiri ibuku di
kamarnya yang ternyata juga sudah siap menyambut tamu yang akan datang nanti.
“Wah, Gek cantik sekali ya”, Meme dan
Bapa kompak mengomentari penampilanku.
“Kan anaknya Meme dan Bapa” , jawabku sambil sedikit tertawa.
Tak berapa lama
terdengar suara beberapa orang mengucapkan salam “Permisi, selamat pagi Pak,
Bu”, kata mereka serempak. “Nggih …”, jawab ibuku yang langsung menuju ke bale dangin tempat kami biasa menerima
tamu. Aku menyusul dibelakang Meme,
lalu disusul kemudian oleh Bapa.
“Silakan duduk Dik”, kata ibuku mempersilakan. Terlihat tiga orang laki-laki
yang usianya sebaya denganku, mengenakan kemeja putih bergaris, bercelana
panjang hitam rapi, bersepatu lengkap dengan ikat pinggang dan memakai jas
putih dengan tanda pengenal. “Sepertinya mereka dokter”, pikirku sembari
berjabat tangan dengan ketiganya.
“Perkenalkan Pak, Bu,
kami dokter yang sedang PTT , kami akan ditempatkan di sini. Saya Nyoman, ini
teman saya Adit, dan yang disebelahnya ini Gung De”, kata salah seorang dari
mereka yang berbadan kurus. “Nggih
Dik, beginilah di Tenganan, tidak ramai seperti di kota. Motor pun jarang
sekali dik, kalau kemana-mana pakai sepeda gayung”, kata Bapa. “Tidak apa Pak, disini kami tidak pergi jauh kecuali ada
pasien, kami juga sudah disiapkan tempat tinggal, mungkin lima puluh meter dari
sini”, kata teman disebelahnya yang bernama Adit.
Ketiga dokter muda itu
pun larut dalam obrolan yang seru bersama Bapa.
Kata mereka, suasana di Tenganan sangat berbeda jauh dengan di Denpasar.
Denpasar tidak seasri dan sesejuk di Tenganan. Mereka juga bercerita kalau
mereka adalah lulusan dari Fakultas Kedokteran Universitas Udayana di Denpasar
sana. Setelah mengobrol lama, mereka pun kami suguhi hidangan ayam betutu, sayur ares, dan es daluman.
Salah satu dari mereka yaitu Adit mengaku baru kali ini ia mencicipi es daluman yang enak.
Sekian lama mereka
bertamu, sebenarnya perhatianku hanya tertuju pada satu orang saja yaitu Gung De,
laki-laki berbadan tinggi dan tegap, berambut lurus dan berkulit kuning yang
terlihat sebagai sosok yang sedikit pendiam. Dari sekian banyak topik yang dibicarakan, ia hanya beberapa kali
menanggapi, dan selebihnya hanya tersenyum dan tertawa bila ada hal yang lucu.
Benar-benar pemuda idamanku. Tak lama mereka lalu berpamitan untuk pergi ke
tempat tinggal mereka. Bapa, Meme, dan aku ikut mengantar. Ternyata
tempatnya lumayan dekat dari rumahku, dekat dengan warung Me Rai. Aku, Bapa, dan Meme berkesempatan melihat-lihat ke
dalam rumah yang lumayan besar itu. Ada peralatan kedokteran disana,
“Sepertinya sekaligus jadi tempat praktik”, batinku.
Sesampainya di rumah
aku terus memikirkan dokter Gung De. Ingin rasanya aku berkenalan dengannya
lebih jauh. Selama ini belum pernah aku melihat pemuda seperti dia. Ah,
sepertinya aku suka dengannya, tapi aku tak berani menyampaikannya dan berniat
menyimpan perasaanku.
Hari demi hari berlalu,
tak terasa sudah sebulan lamanya. Tiga kali dalam seminggu ibuku menyuruhku
membawakan para dokter itu makanan untuk sarapan. Aku biasa ke tempat tinggal
mereka dengan berjalan kaki. Sering kali pagi hari setibanya di sana aku hanya
bertemu dengan dokter Gung De karena dokter Adit dan dokter Nyoman sedang
berolahraga pagi. Sering pula aku melihat dokter Gung De membersihkan rumah,
menyapu lantai, mengepel, dan membersihkan kaca. “Wah, benar-benar pemuda
rajin”, batinku. Ya, sungguh pemandangan berbeda yang kulihat antara kebiasaan
yang dilakukan oleh dokter Gung De dengan kebiasaan rata-rata pemuda di desaku.
Aku lebih sering bertemu dengan pemuda desa saat aku dan Bapa lewat di tempat sabung ayam, dan mereka juga biasanya sering
bangun siang dan malas membantu ibu bapaknya di rumah. “Hmm, berbeda jauh”,
batinku. Dan itulah yang membuatku semakin suka dengan dokter Gung De.
“Maaf Gek, boleh tahu
nama lengkapnya?”, tanya dokter Gung De saat aku membawakan sarapan pagi ke
tempatnya tinggal. “Saya Kadek Ratih”, jawabku agak gugup. Ya, aku gugup karena
itu kali pertama dokter Gung De berbicara padaku selain mengucapkan terima
kasih atas makanan yang kubawakan. “Nama lengkap saya Anak Agung Gede Ary Wiryanatha,
panggilannya Gung De” katanya sambil setengah tertawa. ‘Nggih Pak Dokter”, jawabku sambil sedikit menundukkan kepala. “Haha
jangan panggil Pak, saya baru dua puluh tiga tahun Gek ”, katanya malu-malu.
“Panggil Gung De saja ya”, lanjutnya. “Nggih
Gung De”, jawabku sembari tersenyum. Sejak saat itu, setiap aku mengantar
makanan ke tempat tinggal mereka, aku selalu punya kesempatan mengobrol dengan
Gung De walau hanya beberapa saat sebelum aku kembali ke rumah.
Gung De banyak
bercerita kepadaku tentang kota Denpasar, juga tentang keluarganya di Puri Badung. Aku terkesima mendengarnya,
lewat cerita dari Gung De aku seolah berkelana ke kota. Aku juga menceritakan
keinginanku untuk melihat-lihat suasana kota, tempat yang belum pernah
kukunjungi samasekali.
Semakin lama aku dan
Gung De semakin dekat, pernah suatu hari Gung De bertamu ke rumahku dan minta
izin pada ibuku untuk mengajakku berkeliling melihat desa. Ibuku selalu memberi
izin untukku, tapi dengan syarat kembali ke rumah sebelum jam enam sore.
Empat bulan pun
berlalu, setelah makan malam, ibu menghampiriku ke kamar. Ibu duduk di pojok
tempat tidurku. “Gek kelihatannya semakin dekat sama Gung De nggih?”, tanya ibuku. “Nggih Me, kenapa?” aku balik bertanya .
“Ndak Gek, Meme agak khawatir kalau…” ibuku tidak melanjutkan kata-katanya.
“Kenapa Me? Takut apa Meme?” tanyaku belum mengerti. “Gek suka
nggih sama Gung De?” tanya ibuku.
Seketika pikiranku menjadi buyar, bingung harus menjawab apa. “Gek, kita
tinggal di desa, desa itu punya adat. Gek tahu kan?”, tanya ibuku. “Nggih Me, Gek ngerti”, jawabku singkat. Aku menunduk, sudah kuduga kalau
pembicaraan akan mengarah ke sini. Di desaku, ada hukum adat yang mengharuskan
perempuan di desa ini menikah dengan laki-laki yang berasal dari desa yang
sama. Apabila tidak, maka perempuan tersebut akan dinyatakan “dibuang” dan
putus hubungan dengan keluarga serta tidak diizinkan kembali ke desa.
“Gek, Meme bisa lihat, bagaimana Gek dan Gung
De berbicara, mengobrol. Meme bisa
tahu, Gek pasti sayang kan sama Gung
De?” ibuku melanjutkan. Aku memilih jujur dan menjawab “Nggih Me, Gek sayang sama Gung De, Gek belum pernah bertemu pemuda
sebaik dan serajin Gung De. Meme
kenal kan pemuda di sini, mereka suka judi, minum bir dan nongkrong di tempat sabung ayam”, jawabku menjelaskan pada ibuku. “Meme ngerti Gek, tapi bukan berarti
tidak ada pemuda baik di desa ini. Gek hanya belum ketemu, dan bukan berarti
Gek hanya bisa berjodoh dengan Gung De kan?
Meme tidak ingin Gek dibuang seperti
Mbok Putu. Apalagi Bapa dikenal dan
dihormati di sini Gek. Meme ndak mau kehilangan anak lagi”, jawab
ibuku. Kulihat mata beliau berkaca-kaca. Hatiku terenyuh, teringat dengan nasib
kakak perempuanku satu-satunya yang terpaksa dihukum putus hubungan keluarga
tiga tahun lalu karena menikah dengan laki-laki asal Kabupaten Tabanan. Kakakku
dilarang pulang ke desa walaupun untuk menengok Meme dan Bapa. “Aku tidak
ingin seperti kakak, walaupun aku sayang terhadap Gung De, aku masih lebih
sayang terhadap Meme dan Bapa”, batinku. “Nggih Me, Gek tidak akan
meninggalkan Meme dan Bapa. Gek dan Gung De akan berteman
saja”, jawabku sambil memeluk ibuku.
Malam itu aku tidur
dengan nyenyak, tidak ada lagi beban di pikiranku. Esoknya aku menjalani hari
seperti biasa, aku tetap berteman dengan Gung De, tapi kali ini dengan sedikit
menjaga jarak dan tidak sedekat kemarin-kemarin. Aku berjanji dalam hatiku,
“Apapun yang terjadi, aku tetap memilih orang tuaku”.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)


0 comments:
Post a Comment