Sejarah Candi Borobudur 21:11

Candi borobudur merupakan salah satu obyek wisata yang terkenal di Indonesia yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Candi Borobudur didirikan sekitar tahun 800-an Masehi oleh para penganut agama Buddha Wahayana.  Nama borobudur kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara yang artinya “gunung” (bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras.

Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan “para Buddha” yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata “bara” dan “beduhur”. Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya kompleks candi atau biara dan beduhur artinya ialah “tinggi”, atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti “di atas”. Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.

Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Kahulunan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama Samaratungga, yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M.

Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) .

Letak candi ini diatas perbukitan yang terletak di Desa Borobudur, Mungkid, Magelang atau 42 km sebelah laut kota Yogyakarta. Dikelilingi Bukit Manoreh yang membujur dari arah timur ke barat. Sementara di sebelah timur terdapat Gunung Merapi dan Merbau, serta disebelah barat ada Gunumg Sindoro dan Gunung Sumbing.

Dibutuhkan tak kurang dari 2 juta balok batu andesit atau setara dengan 50.000m persegi untuk membangun Candi Borobudur ini. Berat keseluruhan candi mencapai 3,5 juta ton. Seperti umumnya bangunan candi, Bororbudur memiliki 3 bagian bangunan, yaitu kaki, badan dan atas.

Perumusan teks Proklamasi Indonesia 05:44

Perumusan teks proklamasi diadakan di rumah Laksamana Muda Maeda di Jalan Imam Bonjol No.1 Jakarta . Menjelang pagi tanggal 17 Agustus 1945 teks proklamasi dirumuskan oleh Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dam Ahmad Soebarjo yang disaksikan oleh Sayuti Melik, Sukarni, B.M Diah, dan Sudiro.

Pada pukul 04.30 waktu Jawa konsep naskah proklamasi selesai disusun. Selanjutnya mereka menuju ke serambi muka menemui para hadirin yang menunggu. Ir. Sukarno memulai membuka pertemuan dengan membacakan naskah proklamasi yang masih merupakan konsep tersebut. Ir. Sukarno meminta kepada semua hadirin untuk menandatangani naskah proklamasi selaku wakil-wakil bangsa Indonesia.
Pendapat itu diperkuat oleh Moh. Hatta dengan mengambil contoh naskah “Declaration of Independence” dari Amerika Serikat. Usulan tersebut ditentang oleh tokoh-tokoh pemuda. Karena mereka beranggapan bahwa sebagian tokoh-tokoh tua yang hadir adalah “budak-budak” Jepang. Selanjutnya Sukarni, salah satu tokoh golongan muda, mengusulkan agar yang menandatangani naskah proklamasi cukup Sukarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Setelah usulan Sukarni itu disetujui, maka Ir. Sukarno meminta kepada Sajuti Melik untuk mengetik naskah tulisan tangan Sukarno tersebut, dengan disertai perubahan-perubahan yang telah disepakati. Ada tiga perubahan yang terdapat pada naskah ketikan Sajuti Melik, yaitu : kata “tempoh” diganti “tempo”, sedangkan kata “wakil-wakil bangsa Indonesia” diganti dengan “Atas nama bangsa Indonesia”. Perubahan juga dilakukan dalam cara menuliskan tanggal, yaitu “Djakarta, 17-8-05” menjadi “Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen ‘05”.
Selanjutnya timbul persoalan dimanakah proklamasi akan diselenggarakan. Sukarni mengusulkan bahwa Lapangan Ikada (sekarang bagian tenggara lapangan Monumen Nasional) telah dipersiapkan bagi berkumpulnya masyarakat Jakarta untuk mendengar pembacaan naskah Proklamasi. Namun Ir. Sukarno menganggap lapangan Ikada adalah salah satu lapangan umum yang dapat menimbulkan bentrokan antara rakyat dengan pihak militer Jepang. Oleh karena itu Bung Karno mengusulkan agar upacara proklamasi dilaksanakan di rumahnya, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 dan disetujui oleh para hadirin.

Sejarah Perkembangan VOC di Indonesia 05:41

Pada tanggal 20 Maret 1602 , Belanda membentuk sebuah perusahaan perdagangan yang disebut VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) . Tujuan pembentukan VOC tidak lain adalah menghindarkan persaingan antar pengusaha Belanda (intern) serta mampu menghadapi persaingan dengan bangsa lain terutama Spanyol dan Portugis sebagai musuhnya.
Untuk melaksanakan kekuasaannya di Indonesia diangkatlan jabatan Gubernur Jenderal VOC antara lain:
1. Pieter Both, merupakan Gubernur Jenderal VOC pertama yang memerintah tahun 1610-1619 di Ambon.
2. Jan Pieterzoon Coen, merupakan Gubernur Jenderal kedua yang memindahkan pusat VOC dari Ambon ke Jayakarta (Batavia). Karena letaknya strategis di tengah-tengah Nusantara memudahkan pelayaran ke Belanda.
Setelah berpusat di Batavia, VOC melakukan perluasan kekuasaan dengan pendekatan serta campur tangan terhadap kerajaan-kerajaan di Indonesia antara lain Mataram, Banten, Banjar, Sumatra, Gowa (Makasar) serta Maluku. Akibat hak monopoli yang dimilikinya. VOC memaksakan kehendaknya sehingga menimbulkan permusuhan dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Untuk menghadapi perlawanan bangsa Indonesia VOC meningkatkan kekuatan militernya serta membangun benteng-benteng seperti di Ambon, Makasar, Jayakarta dan lain-lain.
Cara Belanda memperoleh monopoli perdagangan di Indonesia, yaitu :
1 . Melakukan pelayaran hongi untuk memberantas penyelundupan
2 . Rakyat wajib menyerahkan hasil bumi sebagai pajak
3 . Perjanjian dengan raja-raja setempat terutama yang kalah perang wajib     menyerahkan hasil bumi yang dibutuhkan VOC dengan harga yang ditetapkan VOC .
Dalam melaksanakan pemerintahan VOC banyak mempergunakan tenaga Bupati. Sedangkan bangsa Cina dipercaya untuk pemungutan pajak dengan cara menyewakan desa untuk beberapa tahun lamanya.
Bagaimana perkembangan VOC selanjutnya? Pada pertengahan abad ke 18 VOC mengalamii kemunduran karena beberapa sebab sehingga dibubarkan.
1. Banyak pegawai VOC yang curang dan korupsi
2. Banyak pengeluaran untuk biaya peperangan contoh perang melawan Hasanuddin dari Gowa.
3. Banyaknya gaji yang harus dibayar karena kekuasaan yang luas membutuhkan pegawai yang banyak
4. Pembayaran Devident (keuntungan) bagi pemegang saham turut memberatkan setelah pemasukan VOC kekurangan
5. Bertambahnya saingan dagang di Asia terutama Inggris dan Perancis.
6. Perubahan politik di Belanda dengan berdirinya Republik Bataaf 1795 yang demokratis dan liberal menganjurkan perdagangan bebas.

NERACA KASIH SAYANG 21:06



“Apapun yang terjadi, aku tetap memilih orang tuaku”.

“Kukuuurruyuuuuuuuuukkkkk!!!......”, ayam jago milik Bapa mulai berkokok, menandakan sang surya sudah kembali bersiap menerangi jagat raya, berharap hari ini segala yang ada di sana bersuka cita menyambut datangnya pagi. Aku yang sudah membuka mata sejak pukul empat tadi, kini hampir selesai melakukan rutinitas pagi sebagai seorang perempuan yang suatu saat nanti akan jadi seorang ibu seperti Meme.

Nasi dan lauk sudah terhidang di meja, natah sudah kusapu, dan bale juga sudah kubersihkan, kini saaatnya melakukan rutinitas yang lain. Ya, menenun kain Gringsing. Merupakan suatu kewajiban bagi perempuan yang ada di Tenganan Pegringsingan untuk bisa menenun kain Gringsing. Menurut adat desa, kami sebagai perempuan harus dapat membuat sebuah kain yang nantinya akan kami kenakan saat kami menikah, bila tidak, kami belum dapat ijin untuk menikah.

Membuat sebuah kain menurutku bukanlah hal mudah, selain prosesnya yang lama, cara menenunnya pun tak boleh sembarangan. Sebenarnya ini pekerjaan yang membosankan, tapi apa boleh buat, karena aku dilahirkan di desa ini, aku harus tunduk pada adat istiadat di sini. “Yah, dijalani saja lah”, batinku sambil mulai menenun.

Sambil menenun, pikiranku melayang, mengkhayal, membayangkan suatu saat akan ada seorang pemuda tampan yang menyukaiku, lalu ia akan mengajakku pergi ke kota, melihat-lihat sesuatu yang belum pernah kulihat selama dua puluh empat tahun lamanya, dan ia juga akan….. “Geeeeekkkk!”, suara ibuku yang baru pulang dari pasar mengagetkanku, membuyarkan lamunan indahku. “Nggih Me”, jawabku seraya mendekati ibuku yang terlihat kewalahan membawa barang-barang belanjaan. Hari itu kulihat ibu berbelanja banyak sekali, ada daging ayam, base megenep, gedebong pisang, kelapa santan, gula merah, daun daluman, salak, jeruk, pisang, dan masih banyak lagi. “Wah sepertinya akan ada tamu yang berkunjung kemari”, batinku dalam hati. Aku dengan sigap membantu ibu membawa barang-barang tersebut ke dapur. “Nanti mau ada tamu, nggih?”, tanyaku penasaran. “Bukan nanti Gek, tapi besok pagi. Bantu Meme buat betutu, ares, dan es daluman, Gek”, ibuku berpesan padaku. ”Nggih Me, jam berapa besok tamunya datang?”, tanyaku semakin penasaran. “Jam delapan Gek, jangan terlambat bangun ya”, nasihat ibuku. “Nggih Me”, jawabku lalu meninggalkan ibuku kembali ke tempat menenun. Sebenarnya di dalam hatiku aku penasaran siapa sebenarnya tamu yang akan datang besok pagi. Terbersit harapan yang akan datang adalah seorang pemuda kota yang ingin melihat-lihat keadaan desa, tapi aku tidak percaya diri dengan khayalanku yang kiranya sangat tidak mungkin untuk menjadi kenyataan. “Fiuhh…. Yang datang pasti penglingsir dari Desa Dauh Tukad, paling hanya ingin mengobrol dengan Bapa”, batinku sambil menghela napas. Aku melanjutkan kegiatan menenun kain yang ada di pangkuanku. Dengan teliti aku memasukkan benang, membentuk corak. ”Mudah-mudahan hasilnya seperti yang kuharapkan” , gumamku.

Malam hari di Desa Tenganan, suasana di luar rumah sudah sangat sepi walaupun jam baru menunjukkan pukul tujuh malam. Tidak ada seorang pun di luar rumah, sunyi, hanya bunyi jangkrik yang semakin lama semakin keras bersahut-sahutan. Kami warga Desa Tenganan memang selalu diminta waspada untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Salah satu caranya yaitu dengan tidak keluar rumah lewat pukul tujuh malam. “Sudah sandikala Gek, jangan keluar, nanti Gek diculik raksasa”, teringat aku akan nasihat Meme dulu, “Haha tidak masuk akal”, batinku sambil berlalu menuju ke kamar.

Menurut Gede, salah seorang saudara sepupuku yang tinggal di Kota Denpasar sana, jam tujuh malam di Denpasar sangat berbeda jauh dengan jam tujuh malam di Desa Tenganan. “Ndak seperti di sini, Gek. Jam tujuh di Denpasar itu ramai, banyak mobil dan motor lewat, toko juga belum tutup. Dagang nasi sampai jam dua belas malam pun ada Gek”, tersenyum aku mengingat cerita Gede tepat dua bulan lalu setibanya kembali ke desa. Kala itu Gede bercerita dengan sangat bersemangat, membuatku semakin penasaran ingin berkunjung ke kota dan bertemu dengan pemuda dari kota yang siap mengajakku berkeliling di kota sana.

Jujur malam ini untuk pertama kalinya aku tidak bisa tidur. Mataku lelah, tapi pikiranku terus berkelana. Tentu saja akibat rasa penasaran terhadap tamu yang akan berkunjung besok pagi. “Siapa ya kira-kira?”, pertanyaan itu terus muncul dalam pikiranku. Jam akhirnya menunjukkan pukul sepuluh malam dan aku telah terlelap dalam tidurku.

Keesokan paginya tepat pukul tiga, aku langsung bangun dari tempat tidurku, merapikannya lalu membasuh wajahku dan menggosok gigi. Secepat kilat aku menuju dapur. Ternyata Meme sudah ada di sana dan sedang berusaha menyalakan kompor minyak yang akan digunakan untuk memasak nasi. “Gek, potong kecil-kecil gedebongnya, langsung cuci dengan garam ya. Setelah itu buatkan Meme santan, kelapanya di meja, jangan terlalu kental ya”, ibuku memberi instruksi. “Beres Meme cantik”, jawabku sigap sambil sedikit menggoda ibuku. Aku lalu membuat sayur ares sesuai petunjuk ibuku. Sejenak aku lupa dengan rasa penasaranku. Setelah membuat sayur, aku membuat es daluman, mengambil sari dari daun daluman, menunggu hingga kental, mempersiapkan santan dan gula Bali sebagai pemanis. “Wah, hari ini aku masak besar”, gumamku.

            Setelah lebih kurang tiga jam, akhirnya semua masakan selesai. Di meja dapur kini terhidang nasi, sayur ares, ayam betutu, dan daluman. Aku menata buah-buahan yang akan disuguhkan kepada tamu, ”Es batunya nanti saja kubeli di warung Me Rai”, gumamku seraya meletakkan buah terakhir di atas piring. “Hmmm, rapi, beres”, aku merasa puas dengan hasil karyaku.

            Tidak terasa waktu menunjukkan pukul enam lewat lima belas. Aku bergegas ke warung Me Rai membeli beberapa balok es. Warung Me Rai cukup dekat dari rumahku. Hanya tiga menit bila berjalan kaki, tapi karena jalan menuju ke sana agak menaik, maka itu lumayan membuatku berkeringat bila berjalan di siang hari. Syukurlah ini baru pukul enam lewat, angin dingin sepoi-sepoi di desaku tak member kesempatan keringat keluar dari tubuhku.

            “Gek, es batunya masukkan ke termos besar ya, tutupnya isi serbet bersih supaya tidak cepat cair”, kata ibuku setibanya aku di rumah. “Nggih, Me”, jawabku. “Gek, langsung mandi ya, pakai kamen yang bagus,yang rapi, yang cantik ya Gek”, kata ibuku. “Nggih Me, Gek mandi sekarang”, jawabku sambil tersenyum.

            Aku telah selesai mandi, sedikit berhias, memakai wewangian kenanga dan menggunakan kamen yang bagus. Ya, kami perempuan di Desa Tenganan menggunakan kamen sehari-harinya. Entah dari mana kebiasaan tersebut bermula, yang jelas aku mengikutinya sama seperti teman-temanku yang lain.

Sampun Me”, aku menghampiri ibuku di kamarnya yang ternyata juga sudah siap menyambut tamu yang akan datang nanti. “Wah, Gek cantik sekali ya”, Meme dan Bapa kompak mengomentari penampilanku. “Kan anaknya Meme dan Bapa” , jawabku sambil sedikit tertawa.

Tak berapa lama terdengar suara beberapa orang mengucapkan salam “Permisi, selamat pagi Pak, Bu”, kata mereka serempak. “Nggih …”, jawab ibuku yang langsung menuju ke bale dangin tempat kami biasa menerima tamu. Aku menyusul dibelakang Meme, lalu disusul kemudian oleh Bapa. “Silakan duduk Dik”, kata ibuku mempersilakan. Terlihat tiga orang laki-laki yang usianya sebaya denganku, mengenakan kemeja putih bergaris, bercelana panjang hitam rapi, bersepatu lengkap dengan ikat pinggang dan memakai jas putih dengan tanda pengenal. “Sepertinya mereka dokter”, pikirku sembari berjabat tangan dengan ketiganya.

“Perkenalkan Pak, Bu, kami dokter yang sedang PTT , kami akan ditempatkan di sini. Saya Nyoman, ini teman saya Adit, dan yang disebelahnya ini Gung De”, kata salah seorang dari mereka yang berbadan kurus. “Nggih Dik, beginilah di Tenganan, tidak ramai seperti di kota. Motor pun jarang sekali dik, kalau kemana-mana pakai sepeda gayung”, kata Bapa. “Tidak apa Pak, disini kami tidak pergi jauh kecuali ada pasien, kami juga sudah disiapkan tempat tinggal, mungkin lima puluh meter dari sini”, kata teman disebelahnya yang bernama Adit.

Ketiga dokter muda itu pun larut dalam obrolan yang seru bersama Bapa. Kata mereka, suasana di Tenganan sangat berbeda jauh dengan di Denpasar. Denpasar tidak seasri dan sesejuk di Tenganan. Mereka juga bercerita kalau mereka adalah lulusan dari Fakultas Kedokteran Universitas Udayana di Denpasar sana. Setelah mengobrol lama, mereka pun kami suguhi hidangan ayam betutu, sayur ares, dan es daluman. Salah satu dari mereka yaitu Adit mengaku baru kali ini ia mencicipi es daluman yang enak.

Sekian lama mereka bertamu, sebenarnya perhatianku hanya tertuju pada satu orang saja yaitu Gung De, laki-laki berbadan tinggi dan tegap, berambut lurus dan berkulit kuning yang terlihat sebagai sosok yang sedikit pendiam. Dari sekian banyak topik yang  dibicarakan, ia hanya beberapa kali menanggapi, dan selebihnya hanya tersenyum dan tertawa bila ada hal yang lucu. Benar-benar pemuda idamanku. Tak lama mereka lalu berpamitan untuk pergi ke tempat tinggal mereka. Bapa, Meme, dan aku ikut mengantar. Ternyata tempatnya lumayan dekat dari rumahku, dekat dengan warung Me Rai. Aku, Bapa, dan Meme berkesempatan melihat-lihat ke dalam rumah yang lumayan besar itu. Ada peralatan kedokteran disana, “Sepertinya sekaligus jadi tempat praktik”, batinku.

Sesampainya di rumah aku terus memikirkan dokter Gung De. Ingin rasanya aku berkenalan dengannya lebih jauh. Selama ini belum pernah aku melihat pemuda seperti dia. Ah, sepertinya aku suka dengannya, tapi aku tak berani menyampaikannya dan berniat menyimpan perasaanku.

Hari demi hari berlalu, tak terasa sudah sebulan lamanya. Tiga kali dalam seminggu ibuku menyuruhku membawakan para dokter itu makanan untuk sarapan. Aku biasa ke tempat tinggal mereka dengan berjalan kaki. Sering kali pagi hari setibanya di sana aku hanya bertemu dengan dokter Gung De karena dokter Adit dan dokter Nyoman sedang berolahraga pagi. Sering pula aku melihat dokter Gung De membersihkan rumah, menyapu lantai, mengepel, dan membersihkan kaca. “Wah, benar-benar pemuda rajin”, batinku. Ya, sungguh pemandangan berbeda yang kulihat antara kebiasaan yang dilakukan oleh dokter Gung De dengan kebiasaan rata-rata pemuda di desaku. Aku lebih sering bertemu dengan pemuda desa saat aku dan Bapa lewat di tempat sabung ayam, dan mereka juga biasanya sering bangun siang dan malas membantu ibu bapaknya di rumah. “Hmm, berbeda jauh”, batinku. Dan itulah yang membuatku semakin suka dengan dokter Gung De.

“Maaf Gek, boleh tahu nama lengkapnya?”, tanya dokter Gung De saat aku membawakan sarapan pagi ke tempatnya tinggal. “Saya Kadek Ratih”, jawabku agak gugup. Ya, aku gugup karena itu kali pertama dokter Gung De berbicara padaku selain mengucapkan terima kasih atas makanan yang kubawakan. “Nama lengkap saya Anak Agung Gede Ary Wiryanatha, panggilannya Gung De” katanya sambil setengah tertawa. ‘Nggih Pak Dokter”, jawabku sambil sedikit menundukkan kepala. “Haha jangan panggil Pak, saya baru dua puluh tiga tahun Gek ”, katanya malu-malu. “Panggil Gung De saja ya”, lanjutnya. “Nggih Gung De”, jawabku sembari tersenyum. Sejak saat itu, setiap aku mengantar makanan ke tempat tinggal mereka, aku selalu punya kesempatan mengobrol dengan Gung De walau hanya beberapa saat sebelum aku kembali ke rumah.

Gung De banyak bercerita kepadaku tentang kota Denpasar, juga tentang keluarganya di Puri Badung. Aku terkesima mendengarnya, lewat cerita dari Gung De aku seolah berkelana ke kota. Aku juga menceritakan keinginanku untuk melihat-lihat suasana kota, tempat yang belum pernah kukunjungi samasekali.

Semakin lama aku dan Gung De semakin dekat, pernah suatu hari Gung De bertamu ke rumahku dan minta izin pada ibuku untuk mengajakku berkeliling melihat desa. Ibuku selalu memberi izin untukku, tapi dengan syarat kembali ke rumah sebelum jam enam sore.

Empat bulan pun berlalu, setelah makan malam, ibu menghampiriku ke kamar. Ibu duduk di pojok tempat tidurku. “Gek kelihatannya semakin dekat sama Gung De nggih?”, tanya ibuku. “Nggih Me, kenapa?” aku balik bertanya . “Ndak Gek, Meme agak khawatir kalau…” ibuku tidak melanjutkan kata-katanya. “Kenapa Me? Takut apa Meme?” tanyaku belum mengerti. “Gek suka nggih sama Gung De?” tanya ibuku. Seketika pikiranku menjadi buyar, bingung harus menjawab apa. “Gek, kita tinggal di desa, desa itu punya adat. Gek tahu kan?”, tanya ibuku. “Nggih Me, Gek ngerti”, jawabku singkat. Aku menunduk, sudah kuduga kalau pembicaraan akan mengarah ke sini. Di desaku, ada hukum adat yang mengharuskan perempuan di desa ini menikah dengan laki-laki yang berasal dari desa yang sama. Apabila tidak, maka perempuan tersebut akan dinyatakan “dibuang” dan putus hubungan dengan keluarga serta tidak diizinkan kembali ke desa.

“Gek, Meme bisa lihat, bagaimana Gek dan Gung De berbicara, mengobrol. Meme bisa tahu, Gek pasti sayang kan sama Gung De?” ibuku melanjutkan. Aku memilih jujur dan menjawab “Nggih Me, Gek sayang sama Gung De, Gek belum pernah bertemu pemuda sebaik dan serajin Gung De. Meme kenal kan pemuda di sini, mereka suka judi, minum bir dan nongkrong di tempat sabung ayam”, jawabku menjelaskan pada ibuku. “Meme ngerti Gek, tapi bukan berarti tidak ada pemuda baik di desa ini. Gek hanya belum ketemu, dan bukan berarti Gek hanya bisa berjodoh dengan Gung De kan? Meme tidak ingin Gek dibuang seperti Mbok Putu. Apalagi Bapa dikenal dan dihormati di sini Gek. Meme ndak mau kehilangan anak lagi”, jawab ibuku. Kulihat mata beliau berkaca-kaca. Hatiku terenyuh, teringat dengan nasib kakak perempuanku satu-satunya yang terpaksa dihukum putus hubungan keluarga tiga tahun lalu karena menikah dengan laki-laki asal Kabupaten Tabanan. Kakakku dilarang pulang ke desa walaupun untuk menengok Meme dan Bapa. “Aku tidak ingin seperti kakak, walaupun aku sayang terhadap Gung De, aku masih lebih sayang terhadap Meme dan Bapa”, batinku. “Nggih Me, Gek tidak akan meninggalkan Meme dan Bapa. Gek dan Gung De akan berteman saja”,  jawabku sambil memeluk ibuku.

Malam itu aku tidur dengan nyenyak, tidak ada lagi beban di pikiranku. Esoknya aku menjalani hari seperti biasa, aku tetap berteman dengan Gung De, tapi kali ini dengan sedikit menjaga jarak dan tidak sedekat kemarin-kemarin. Aku berjanji dalam hatiku, “Apapun yang terjadi, aku tetap memilih orang tuaku”.




Peristiwa G30S/PKI 04:58

Pada tahun 1965 tepatnya pada tanggal 30 September 1965, sebuah pemberontakan terjadi atas keutuhan Pancasila namun berhasil ditumpas oleh seorang perwira tinggi bernama Soeharto. 

Rakyat yang kala itu masih bodoh dicekoki dengan pernyataan-pernyataan pedas tentang seberapa menyeramkan dan menyakitkannya sebuah pemberontakan. PKI terus menyebarkan doktrin bahwa pemberontakan itu identik dengan kekejaman. Rakyat akan semakin terkepung dalam kesengsaraan. Doktrin yang dilontarkan PKI itu terhadap rakyat itu pada akhirnya berhasil membakar darah rakyat yang kala itu tengah dirundung duka yang mendalam dan berkepanjangan akibat dari ketidak stabilan perekonomian di sebuah negara yang masih muda ini. Akhirnya PKI mendapat restu dari rakyat yang telah didoktrinnya untuk menumpas para jendral yang terlibat dalam Resolusi Dewan Jendral.

PKI sendiri mempunyai kepentingan dalam penumpasan ini. PKI adalah pendukung terkuat Soekarno, dan Soekarno adalah pendukung terkuat PKI demi sebuah image bagi dunia internasional bahwa Indonesia tidak mudah dimasuki pengaruh Amerika Serikat. Memang Sokarno lebih menyukai politik sosialis demokratik seperti yang diajarkan Uni Soviet kepada dunia kala itu yaitu pemerataan.

Karena PKI takut kehilangan dukungan dari presiden, maka PKI harus secepatnya menumpas Dewan Jendral sebelum Dewan Jendral menggulingkan Soekarno. Maka direncanakanlah sebuah aksi untuk menumpas Dewan Jendral. Akhirnya para pemimpin PKI sepakat tanggal yang tepat untuk melakukan aksi adalah pada tanggal 30 September.
Para pimimpin PKI melakukan rapat tentang aksi yang bakal mereka lakukan. Sedikitpun mereka tidak menyinggung nama Soeharto karena memang Soeharto kala itu bukan siapa-siapa. Dia tidak lain hanyalah seorang prajurit TNI berpangkat tinggi yang tidak diperhitungkan dan tidak penting sama sekali.

Disisi lain, Soeharto sendiri juga mengetahui tentang adanya resolusi Dewan Jendral dan mengetahui bahwa PKI akan melancarkan aksi untuk menumpasnya. Namun dia hanya diam. Soeharto juga memiliki kepentingan jika PKI berhasil. Kepentingan Soeharto sebenarnya adalah agar dia mulai dianggap penting dan kembali diperhitungkan di kancah percaturan negeri ini sehingga dia bisa mendapat jabatan yang lebih penting dari jabatan yang dia pegang saat itu. Dia biarkan PKI melakukan aksinya dengan membunuh para perwira tinggi TNI yang memang memegang jabatan penting di negara. Dengan demikian akan semakin berkurang saingan bagi Soeharto untuk meraih jabatan yang lebih tinggi.

Tanggal 30 September pukul 4 pagi, diculiklah 7 jendral yang menjadi target operasi PKI diantaranya , yaitu Jendral Ahmad Yani , Mayjen Anumerta D.I Panjaetan , Letjen M.T Haryono , Kapten Piere Tendean , Letjen S .Parman , Letjen Suprapto , Mayjen Sutoyo . Mereka dibawa ke lubang buaya dan diserahkan kepada masa pendukung PKI yang telah berkumpul di sana sejak sore hari tanggal 29 September untuk diadili dengan cara mereka. Massa dibebaskan melakukan apa saja sesuka hati mereka kepada para jendral yang akan menambah kesengsaraan bagi rakyat tersebut. Massa yang berkumpul di lubang buaya berpesta pora sebelum akhirnya menyiksa hingga mati para jendral tersebut.